KALIGRAFI
DALAM BUDAYA BALI
Nyoman
Adiputra
Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana
Anggota
Bali-Human Ecology Study Group (Bali-HESG)
Abstrak
Kehidupan berkesenian dalam
masyarakat Bali dapat dirunut dari bukti peninggalan susastra atau warisan
budaya lainnya. Kehidupan kesusastraan di Bali dapat dibuktikan lewat ribuan
lontar yang ada. Berbagai pengetahuan tradisional dikandung dalam lontar-lontar
tersebut. Salah satunya dapat ditelusuri adalah bentukan kaligrafi. Dalam
tulisan ini diajukan dua bentuk kaligrafi, yaitu kaligrafi berbentuk Dasa
Bayu dan kaligrafi Semar. Analisis strukturalisme dan fungsional
diterapkan dalam studi ini. Kedua contoh kaligrafi tersebut mempunyai struktur
dan fungsi yang khas. Kaligrafi Dasa Bayu sebagai produk budaya
berfungsi sebagai alat bantu untuk mempermudah ingatan dalam merafalkan Dasa
Bayu. Dasa Bayu sendiri mempunyai nilai magis dan kekuatan yang luar biasa
secara niskala yang dapat dipakai dan dimanfaatkan sesuai dengan
kehendak si pemakai. Sedangkan kaligrafi Semar berfungsi memberikan
pencerahan dan kesadaran agar manusia selalu ingat dan waspada bahwa dalam
mempelajari ilmu ke-Tuhan-an supaya betul-betul membersihkan diri dan
melaksanakan trikaya parisuda tanpa cela. Dengan demikian tujuan akhir
yang diinginkan akan mendapat anugrah dari Tuhan. Anugrah tersebut bisa dipakai
untuk menolong orang lain dalam tujuan positif. Fungsi lainnya ialah keindahan
itu sendiri. Dengan mengatur menjadi bentukan seperti itu (Dasa Bayu dan
Semar) diharapkan memang ada unsur artistik yang dapat dinikmati oleh
mereka yang peduli dalam masalah kesenian. Dengan demikian disimpulkan bahwa
kaligrafi ada dalam budaya Bali, dengan menampilkan dua buah contoh. Diharapkan
ada studi lanjutan yang akan dapat melaporkan bentukan kaligrafi lainnya dalam
budaya Bali.
Kata kunci: kaligrafi, budaya Bali, Dasa
Bayu, Semar
CALLIGRAPHY
IN BALINESE CULTURE
Abstract
From the cultural heritages in Bali
it could be traced the existence of art live in Bali. Lontar as a
product of Balinese culture, it is found so many in Balinese society. There are
many subject of knowledge in lontar; and one of the subject is about the
calligraphy. In this article it is reported two kinds of calligraphy such as Dasa
Bayu and Semar calligraphy. Structural and functional analysis were
applied. Dasa Bayu calligraphy as a product of Balinese culture, it
functions as a mean to memorize the elements of Dasa bayu. Dasa Bayu has
a magic and extra-ordinary, supra natural power that could be used for helping
others. In another hand Semar calligraphy composed by Balinese letters.
They make one sentence composed by ten old Javanese words. The function is to
remind every body who are in the period of study about the traditional
knowledge should always keep his/her body in a very clean condition, physically
and spiritually by applying the trikaya parisuda. By doing that the
goals of study could be achieved. The result of study then could be used for
helping others in a positive sense. Other function of the calligraphy is
artistic one. Therefore, it is concluded that there is calligraphy in Balinese
culture, by presenting two examples. It is recommended that further study is
needed to explore more example of Balinese calligraphy.
Key words: calligraphy, Balinese
culture, Dasa Bayu, Semar
Pendahuluan
Kebudayaan Bali adalah produk
masyarakat Bali secara kolektif dan berkelanjutan. Budaya Bali terbina sejak
manusia Bali ada, akan terus tumbuh dan berkembang sesuai dengan kehidupan
manusia Bali. Kehidupan berkebudayaan mencirikan manusia Bali mempunyai suatu
tradisi baik yaitu tradisi sastra dan tradisi karya. Dengan tradisi tersebutlah
maka sekarang dapat diwarisi berbagai bentuk produk budaya seperti pengetahuan
tertulis dalam lontar dan tinggalan arkheologis lainnya.
Kebudayaan Bali dapat dipilah-pilah
menjadi beberapa subkomponen seperti kesenian, pekerjaan profesional, bahasa,
pemanfaatan dan apresiasi waktu, upakara dan upacara, dan lainnya. Produk dalam
berkesenian tersebut berupa seni tabuh, seni lukis, seni grafis, seni tari,
seni pahat dan lain-lainnya. Tulisan ini berusaha untuk mengungkapkan salah
satu dari produk berkesenian masyarakat Bali yaitu kaligrafi.
Kaligrafi pada mulanya didominasi
oleh kaligrafi islam. Malahan dikatakan bahwa kaligrafi sebagai lambang
persatuan muslimin (Anonim, 2005a, b) atau paling tidak cerminan budaya islam
(George, 2004). Walaupun hal itu kurang tepat karena kaligrafi berasal dari
bahasa Yunani: kalli berarti keindahan, dan grapos berarti
menulis (Anonim, 2005c.). Dengan demikian kaligrafi berarti produk seni menulis
yang indah. Memang di Indonesia, kaligrafi dikatakan bernafaskan Islam karena
tulisan-tulisan yang dibuat diambil dari Al-Qur’an yang ditulis dengan pena di
atas kertas, tetapi tidak jarang tulisan ditatahkan di atas logam atau kulit
(Anonim, 2005.b).
Memang melalui seni kaligrafi,
diyakini oleh para pakar sangat efektif dalam menciptakan dan menggalang
solidaritas kebudayaan berbagai kaum dan bangsa di dunia, dan tidak terbatas
kepada dunia Islam saja (Nawi, 2005). Kaligrafi juga menyebabkan terkekalkannya
ungkapan-ungkapan lisan manusia dan terjaganya pandangan-pandangan dan pendapat
mereka menjadi peninggalan abadi karya manusia (Anonim, 2005.b).
Pelaksanaan pameran gabungan
kaligrafi dan kebudayaan antarbangsa beberapa waktu lalu di Kualalumpur,
Malaysia, membuktikan bahwa kaligrafi adalah produk universal bersifat
lintas-agama, dan lintas-etnis. Peran kaligrafi dalam kebudayaan masing-masing
bangsa dan suku bangsa perlu ditonjolkan sehingga dikenal dan dicintai oleh
masyarakatnya. Hal itu harus mendapat perhatian semua pihak, karena kaligrafi
merupakan salah satu unsur kebudayaan bangsa.
Untuk masyarakat Bali, apakah itu
berlaku? Untuk menjawab hal itu maka studi literatur dilakukan dan diperoleh
jawaban bahwa kaligrafi ada dalam budaya Bali yang bernafaskan Agama Hindu.
Materi dan metode
Materi. Sebagai materi dalam tulisan
ini bahan terbitan yang mengulas budaya Bali dan memakai gambar sebagai wahana
penyampaian informasinya. Dari sumber yang diteliti diperoleh dua buah gambar;
gambar pertama diperoleh dalam sumber Dnyana Siddanta; sedangkan gambar kedua
diperoleh dalam catatan seorang penekun ilmu kedyatmikan dari Buleleng.
Sedangkan gambar ketiga yaitu gambar swastika dengan ong-kara di titik
sentralnya, diperoleh dari bendanya yang dijual sebagai tanda cendera mata
dalam gerakan dana punia pembangunan pura di salah satu tempat di Jawa Tengah
. Sebagai materi dalam tulisan ini
bahan terbitan yang mengulas budaya Bali dan memakai gambar sebagai wahana
penyampaian informasinya. Dari sumber yang diteliti diperoleh dua buah gambar;
gambar pertama diperoleh dalam sumber ; sedangkan gambar kedua diperoleh dalam
catatan seorang penekun ilmu dari Buleleng. Sedangkan gambar ketiga yaitu
gambar dengan di titik sentralnya, diperoleh dari bendanya yang dijual sebagai
tanda cendera mata dalam gerakan dana punia pembangunan pura di salah satu
tempat di Jawa Tengah
Metode. Kedua gambar tersebut
diupayakan diulas dan dicari arti serta maknanya sesuai dengan pengetahuan umum
atau sesuai dengan apa yang dimaksud penciptanya. Tentu-nya pedoman dalam
penafsiran tersebut adalah sumber tertulis yang ada.
Kedua gambar tersebut diupayakan
diulas dan dicari arti serta maknanya sesuai dengan pengetahuan umum atau
sesuai dengan apa yang dimaksud penciptanya. Tentu-nya pedoman dalam penafsiran
tersebut adalah sumber tertulis yang ada.
Analisis. Data yang diperoleh
dianalisis secara deskriptif saja tanpa melibatkan statistik inferensial.
. Data yang diperoleh dianalisis
secara deskriptif saja tanpa melibatkan statistik inferensial.
Hasil-hasil
Sesuai dengan batasan di atas maka
telah diperoleh dua gambar yang ditafsirkan sebagai kaligrafi Bali. Gambar yang
dimaksud ialah Dasa Bayu; Gambar Semar; dan Ong-kara.
1) Dasa Bayu
Wujud dalam bentuk gambar dari Dasa
Bayu tersebut seperti di bawah ini. Ada 10 unsur yang menjadi simbul dari Dasa
Bayu. Simbul tersebut adalah (Haryati Soebadio, 1971):
I, sebagai perwujudan dari Sanghyang
Sadasiwa;
, sebagai perwujudan dari ;
Ha, sebagai perwujudan dari
Sanghyang Wisnu;
, sebagai perwujudan dari ;
Ka, sebagai perwujudan dari
Sanghyang Mahadewa;
, sebagai perwujudan dari ;
Sa, sebagai perwujudan dari
Sanghyang Brahma;
, sebagai perwujudan dari ;
Ma, sebagai perwujudan dari
Sanghyang Iswara;
, sebagai perwujudan dari ;
Ra, sebagai perwujudan dari
Sanghyang Maheswara;
, sebagai perwujudan dari ;
La, sebagai perwujudan dari
Sanghyang Rudra;
, sebagai perwujudan dari ;Wa,
sebagai perwujudan dari Sanghyang Sangkara;
Ya, sebagai perwujudan dari
Sanghyang Sambhu; dan
, sebagai perwujudan dari ; dan
U, sebagai perwujudan dari Sanghyang
Sadasiwa.
, sebagai perwujudan dari .
Menurut Nala (1991) dasa bayu
juga ada dalam lontar usadha Bali. Unsur dasa bayu yang
digambarkan menjadi kaligrafi terdiri dari sepuluh elemen. Elemen-elemen
tersebut termasuk (Nala, 1991; Adiputra, 2004):
1) nada, simbul dari bintang
(Sanghyang Tranggana);
2) windu, simbul dari
matahari (Sanghyang Surya);
3) arda-candra, simbul dari
bulan (Sanghyang Wulan);
4) Ong-kara, simbul dari dari
Sanghyang Widi Wasa;
5) Ing-kara, simbul dari Sanghyang
Sadasiwa;
6) Ang-kara, simbul dari Sanghyang
Wisnu;
7) Ksa, simbul dari Sanghyang
Mahadewa;
8) Mra, simbul dari Sanghyang
Sangkara;
9) Lwa, simbul dari Sanghyang
Rudra; dan
10) Yeng, simbul dari Sanghyang
Sambhu.
Gambarnya adalah sebagai berikut:
2) Semar
Gambar semar yang dimaksud
ternyata kalau diperhatikan secara teliti dan seksama disusun juga oleh aksara
Bali. Aksara Bali tersebut dirangkai sedemikian rupa sehingga membentuk
kalimat: bayasira arsa mardi kamardikan aywa samar sumingkiring dur kamurkan.
Kalau dipilah-pilah maka kalimat dengan aksara Bali tersebut terdiri
dari kata-kata atau kalimat sebagai berikut:
1) baya sira artinya kalau
saudara;
2) arsa artinya berniat;
3) mardi artinya berbuat;
4) kamardikan artinya
mendapatkan kebebasan;
5) aywa artinya jangan;
6) samar artinya ragu-ragu;
7) sumingkiring artinya
menyingkirkan atau meniadakan;
8) dur artinya segala sifat
dan perilaku jahat;
9) kamurkan artinya kemarahan
dan sejenisnya.
3) Ong-kara
Dalam tulisan ini ong-kara
diasumsikan sebagai salah satu bentuk kaligrafi Bali. Melihat bendanya, dan
fungsinya ong-kara, paling tidak memenuhi kriteria dari kaligrafi Bali.
Di bawah ini disajikan kaligrafi yang dimaksud. Bentuk kaligrafi Ong-kara
tersebut sudah dijual sebagai pertanda tali kasih dalam gerakan dana punia
pembangunan pura di daerah Jawa tengah. Setiap orang yang bersedia menjadi
donatur dalam jumlah tertentu, mendapatkan sebuah bentuk kaligrafi. Kaligrafi
tersebut dapat dipasang di dinding atau tembok. Gambarnya berupa Ong-kara
di bagian paling tengah, kemudian lapis kedua gambar swastika. Bagian
paling luar bingkai berbentuk segi lima. Diharapkan dengan menggantung
kaligrafi tersebut, didapatkan vibrasi kerohanian yang tentunya akan memberikan
dampak kepada semua isi rumah dimana kaligrafi itu berada. Logikanya, setiap
individu melihat kaligrafi tersebut akan membaca dan melafalkannya menjadi Ong.
Itulah wujud nyata dari pemasangan kaligrafi tersebut.
Pembahasan
1) Dasa Bayu
Kaligrafi Dasa Bayu
didapatkan dalam buku Jnana Siddhanta (Soebadio, 1971). Di samping itu
didapatkan pula dalam bukunya Dr Weck yang berjudul: Heilkunda auf Bali.
Menurut Nala (1991) kaligrafi itu terdapat juga dalam lontar Usadha Cukil
Daki.
Kaligrafi tersebut disusun oleh
berbagai huruf. Strukturnya terdiri dari beberapa huruf dan dibingkai oleh
aksesori huruf Bali naniya dan guwung. Dengan bingkai tersebut
tampak sebagai suatu kesatuan dengan beberapa huruf yang ternyata adalah dasaaksara
bergantungan membentuk ucapan seperti di atas. Secara individual maka dibaca I,
Ha, Ka, Ma, Ra, Sa, La, Wa, Ya , dan U. (Soebadio, 1971). Jumlah
seluruhnya sepuluh, sebagai simbol perwujudan dari sepuluh dewata. Tetapi kalau
kaligrafi tersebut dihubungkan dengan dasaatma maka pembacaan dari
kaligrafi ini berbeda (Soebadio, 1971). Kedua aspek di atas merupakan isi
informasi yang ingin disampaikan oleh si pengarangnya (Nawi, 2005).
Unsur kedua dari kaligrafi dasa
bayu adalah keindahan atau kehalusan seninya (Nawi, 2005). Dengan
keterampilan khusus, maka ujung-ujung huruf yang dilukiskan tersebut mampu
mengikat semua komponen menjadi satu kesatuan produk. Untuk menafsirkan produk
tersebut diperlukan imaginasi dalam dalam memilah-milah komponen tersebut.
Kalau tidak memahami aksara Bali dengan baik, maka pasti ada kesukaran dalam
membaca gambar tersebut.
Dalam menapsirkan elemen dasa bayu
tersebut jelas ada sedikit perbedaan antara yang ditulis oleh Soebadio (1971).
Dalam bukunya itu simbol untuk Sanghyang Sadasiwa ditulis dua kali,
yaitu untuk I (untuk Ing-kara) dan U (untuk Ung-kara).
Kemungkinan besar itu salah ketik, dimana untuk Ing-kara simbol Sanghyang
Sadasiwa sedangkan Ung-kara sebagai simbul Sanghyang Siwa.
2) Semar
Makna dari kaligrafi Semar tidak
bisa diulas secara jelas. Dalam tulisan ini hanya diinterpretasikan saja.
Apakah betul si penggagas yang mempunyai ide asli dalam mewujudkan kaligrafi
tersebut? Kemudian mengapa memakai untaian kata-kata seperti itu? Kembalilah
disini adanya kebebasan seseorang seniman untuk memakai haknya dalam
berkreativitas dalam bentuk gambar atau tulisan untuk mengungkapkan pikirannya
(Anonim, 2005.a). Kata-kata tersebut dibuat menjadi pembatas suatu gambaran
yang menyerupai semar; dengan mengatur serta menyusun sedemikian rupa
sehingga secara sekilas tampak seperti gambaran biasa. Akan tetapi kalau
dilihat secara perlahan dan teliti, maka untaian huruf Bali tersebut membentuk
kalimat yang mempunyai arti tersendiri. Untaian kata-kata mutiara tersebut
seolah-olah memberikan suatu nasehat kepada si apa saja yang menekuni ilmu
ke-Tuhan-an (kedyatmikan). Intinya ialah bahwa membersihan diri secara sakala
dan niskala adalah kunci keberhasilan belajar ilmu tersebut.
Karenanya nasehat tersebut harus secara berkesinambungan diperdengarkan terus
sehingga perilaku sopan dan tidak berdusta menjaid perilaku keseharian seorang
yang mengabdikan diri kepada kebajikan atau pengamal ilmu kediyatmikan.
Dalam hubungan kasus ini maka gambar tersebut memberikan nasehat atau
peringatan, mungkin ditujukan kepada orang yang membacanya atau mungkin juga
sebagai peringatan kepada yang membuatnya, agar supaya selalu melaksanakan trikaya
parisudha.. Sebagai suatu produk seni, maknanya juga dapat dipakai oleh
setiap orang.
Unsur seni dalam gambar semar
tersebut juga menimbulkan adanya variasi aksara Bali yang dipakai. Dalam batas
toleransi tertentu dan untuk menjaga unsur seni tersebut, kembali diasumsikan
bahwa area tersebut merupakan hak si pengarang. Ada pembatas dalam hal itu
yaitu misi yang dikandung (supaya menyerupai semar), dan bentuk baku
aksara Bali yang dipakai, serta tempat yang tersedia (sehingga membentuk
hubungan) menjadi satu kesatuan. Dari pembatas tersebut dikreasikan suatu
bentuk yang akan mampu membawa informasi sesuai dengan apa yang ingin
dikemukakan oleh si pengarangnya (Nawi, 2005).
Melihat dan menganalisis gambar
semar tersebut, penulis yakin bahwa gambar tersebut tergolong ke dalam seni
kaligrafi dan dapat dipakai menggalang solidaritas kebudayaan Indonesia, bahkan
kebudayaan dunia, sebagaimana dikemukakan dalam Perspektif (Anonim, 2005.a).
Dengan terlukiskannya menjadi gambar semar maka paling tidak hasil kreasi ide
menjadi terkekalkan dan menjadi peninggalan karya abadi manusia si
pengarangnya. Hal itu juga salah satu fungsi dari kaligrafi (Anonim, 2005.a).
Semar adalah salah satu perwujudan insan yang mempunyai jiwa abdi yang sangat
setia, bhakti, serta mampu menyadarkan kembali boss-nya kalau si boss
dalam keadaan bimbang dan ragu untuk bertindak membela kebenaran. Itulah simbul
dunia pewayangan. Mungkin itu pula yang dipakai mengapa gambar semar yang
dipilih oleh si pengarang.
3) Ong-kara
Mengenai kaligrafi ong-kara
terbuka untuk didiskusikan. Jelas si pencipta memakai ong-kara sebagai
titik sentral dari gambar swastika tentu ada maksudnya, mengandung
informasi dan ada unsur seni. Dengan ketiga acuan tersebut jelas bahwa gambar
tersebut dapat digolongkan ke dalam seni kaligrafi (Anonim, 2005.a,b). Demikian
pula fungsinya. Ong-kara mempunyai fungsi khusus dalam aksara Bali
(Tinggen, 1994; Simpen, tt; Tonjaya, 2000; Nyoka, 1994 Adiputra, 2002; Dinas
Kebudayaan Bali, 2001), sehingga tidak bisa digunakan secara sembarangan. Ong-kara
ada dalam aliran Siwa maupun Buda (Hooykaas, 1973). Demikian pula
dalam lontar Aji Saraswati (tt) dituliskan tatacara menulis, menyalin,
mulai membaca serta mengakhiri membaca lontar. Karena aksara Bali dianggap suci
(pingit). Peringatan tersebut dalam rangka mendidik dan membina si
pembaca atau manusia pendukungnya supaya berperilaku yang selalu baik menurut
ajaran agama, yaitu trikaya parisuda (Nala & Wiriatmadja, 1991).
Penulis menginterpretasikan fungsinya adalah memberikan suatu kesadaran akan
rasa selalu ingat kepada Ida Sanghyang Widi dan waspada pada diri
sendiri sebagai mahluk Tuhan, mana kala melihat gambar tersebut. Itulah nilai
informasi yang ingin disampaikan; sudah tentu fungsi kedua dari sudut
keindahan/ kehalusan seninya, sebagaimana ditulis oleh Nawi (2005). Kemungkinan
ketiga, diharapkan dengan memasang gambar tersebut akan mendapat aura gaib dan
memberikan perlindungan kepada orang atau area sekeliling gambar tersebut.
Paling tidak pihak yang melihat dan membacanya menjadi sadar bahwa di situ tuan
rumah mempunyai dimensi spiritualitas.
Dari uraian di atas dapat ditarik
simpulan sebagai berikut: 1) kaligrafi ada dalam kebudayaan Bali, yang dalam
tulisan ini dipakai contoh tiga buah yaitu: dasa bayu, gambar semar,
dan ong-kara; dan 2) ketiga produk seni kaligrafi tersebut mengandung
nilai seni-estetika, informasi, serta dokumentasi produk pemikiran manusia.
Di masa mendatang perlu diupayakan
untuk menggali lebih banyak lagi produk seni kaligrafi yang ada dalam budaya
Bali, sehingga dapat diketahui masyarakat umum atau bahkan masyarakat dunia.
Daftar Kepustakaan
Adiputra, N. 2004. The Magical
Aspect of Aksara Bali. Majalah Dinamika Kebudayaan.
Vol. VI, No.1, 2004.
Adiputra, N. 2002. Aksara Bali in
the Changing world. Proceeding of the International Seminar on Culture in
the Changing World; join seminar between the University of Anti Och, Seatle
USA with the Bali-HESG, School of Medicine Udayana University, Denpasar.
Anonim. 2005.a. Seni Kaligrafi,
Lambang Persatuan Muslimin. Perspektif. Juni 2005. http://www.irib.ir/worldservice/melayuRADIO/perspektif/2005/juli2005/kaligrafi.htm.
Diakses pada tgl.11-8-2005.
Anonim. 2005.b. Kaligrafi. http://id.wikipedia.org/wiki/Kaligrafi. Diakses
pada tgl: 11-8-2005.
Anonim, t.t. Lontar Tutur Sanghyang
Aji Saraswati.
Dinas Kebudayaan Propinsi Bali.
2001. Kekawin Arjuna Wijaya lan teges ipun.
Ginarsa, K. tt. Gambar lambang.
Proyek Pemeliharaan dan Pengembangan Kebudayaan Daerah Bali. Yayasan Darma
Budaya.
George, Kenneth M. 2004. Unsur
Kaligrafi: On Aceh, Islamic Art, and the terrain of Indonesian multiculralism. Jurnal
Antropologi Indonesia. XXVIII No.75, September –December 2004. (Abstrak).
Haryati Soebadio. 1971.
JNANASIDDHANTA. Bibliotheca Indonesica. Koninklijk Instituut Voor Taal-,
Land- en Volkenkunde. 7. The Hague – Martinus Nijhoff.
Hooykaas, C. 1973. BALINESE
BAUDDHA BRAHMANS. Verhandelingen der Koninklijke Nederlandse Akademie van
Wetenschappen, afd Letterkunde Nieuwe Reeks, Deel 80. North Holland Publishing
Company- Amsterdam.
Nala, N. Usada Bali. 1991.
Penerbit Upada Sastra. Denpasar.
Nala, N. Dan Wiriatmadja, IGK.1991. Murddha
Agama Hindu. Penerbit Upada sastra. Denpasar.
Nawi, Hartini Mohd. 2005. Seni
Kaligrafi merentasi budaya. http://www.hmetro.com.my/Current_News/HM/Tuesday/Komuniti/20050621095348/Artic...
Diakses pada tgl. 11-8-2005
Nyoka. 1994. KRAKAH MODRE II.
Percetakan dan Toko buku RIA. Denpasar.
Simpen, W. tt. Pasang Aksara Bali.
Upada Sastra. Denpasar
Tonjaya, N.N. 2000. TUMBAL
RERAJAHAN. Penerbit dan Toko Buku RIA. Denpasar
Tinggen, I N. 1994. Celah-celah
Kunci Pasang Aksara Bali. Penerbit Rhika Dewata Singaraja.
Disalin langsung dari sumbernya.
Sumber : http://www.balihesg.org/index.php?option=com_content&task=view&id=359&Itemid=28
Tidak ada komentar:
Posting Komentar